sarasvati
2 min readJan 4, 2019

--

source: pexels.com/Min Am

Aku menatap punggungmu, mengkilap dengan keringat dan cahaya dewi malam, sembari kau mengisi kembali gelasmu dengan anggur.

It’s a celebration.

We can afford to break open this bottle now.

Aku tidak mengelak. Kamu mendapatkan promosi yang telah kamu damba-dambakan selama lima tahun, serta hasil negatif dari dokter kandungan, memang benar suatu hal yang berhak kita selebrasi.

Aku menatap tubuh liukmu, bergerak anggun sambil menyebrangi ruang tengah-dan-dapur apartemenku, menujuku yang masih terkulai lemas di atas sofa, senyuman bodoh tetap menempel di wajahku karena, selain kamu telah mengguncang duniaku untuk kesekian kalinya, aku menyadari betapa cintanya aku padamu.

Kamu terdiam, kemeja kerjaku yang kamu gunakan bak jaket karena terlalu besar untukmu itu menjadi satu-satunya hal yang bergerak di antara kita.

Repeat what you said.

Aku merasa seperti seekor mangsa menghadapi sang predator. Menelan ludah, aku mencoba meyakinkan dirimu aku tidak mengeluarkan sepatah kata apapun.

Kamu, tentu, tidak percaya. Karena kamu, dan aku, dan semesta tahu, aku baru saja mengakui perasaanku padamu.

Padahal aku sendiri yang meyakinkanmu, di awal perjanjian kita, no feelings attached.

Betapa munafiknya aku.

Aku berdiri dari dudukku, melangkah pelan ke arahmu yang masih berdiri, terpaku diam di posisimu, di depan jendela, sinar rembulan memancar dari kulitmu yang masih agak berkeringat, dengan bajuku yang berkibar akibat kipas angin.

Kamu masih terdiam saat aku telah ada di depanmu.

You can’t.

Aku tak tahu apa maksudmu. Aku tak tahu apakah kamu melontarkan dua kata itu dengan sengaja untuk meracuni batinku yang bergejolak akibat pengakuanku, atau karena kamu memang…

David.

Aku mengadahkan mataku — sejak kapan aku menatap lantai? — dan memaksa diriku untuk menatap matamu. Matamu, coklat gelap, dengan extension bulu mata yang sudah lewat seminggu untuk kamu pasang ulang. Salahku, sih. Aku selalu mencuri waktu-waktu kosongmu hingga kamu membatalkan dua pertemuan dengan salon langgananmu. Aku tertawa kecil mengingatnya.

David, you can’t be joking right now.

Oh.

Iya. Aku lupa. Aku terlalu tenggelam dengan dirimu hingga kadang aku lupa bahwa aku seharusnya mengatakan sesuatu. Tapi aku takut, Mia. Aku takut mengujarkan kata-kata yang salah, lalu kamu akan menamparku, dan meninggalkanku selamanya. Aku tahu ini gombal sampah yang kamu benci, tapi aku tidak mau kamu pergi. Aku —

For god’s sake, David. You speak too much.

Lalu bibirmu yang masih beresidu gincu merah muda mentransfernya kepada bibirku, gelas berisi anggur (dingin) yang telah kau isi ulang menempel ke punggungku yang telanjang, tanganmu yang bebas merenggut rambut di tengkukku, dan —

— dan aku tenggelam di dalam dirimu, sekali lagi, dan aku tidak, tidak mau diselamatkan.

Di antara cumbuan, aku merasa mendengar dirimu menggumam,

I’ve loved you longer than you realise.

Kalaupun itu hanya halusinasiku, aku terima. Mendapati gambaran perasaanku dibalas oleh primadona hatiku… itu cukup bagiku.

Karena aku cinta padamu, dan aku tidak mau rasa itu hilang dalam waktu dekat.

. (d. 2019/1/4. 10pm.) | confession |

--

--