Perempuan yang Tergusur

sarasvati
14 min readDec 22, 2019

(Februari 2018 | sebuah parafrase balada karya WS Rendra dengan judul yang sama)

Februari 2010

Perempuan bertubuh tinggi berdiri di depan sebuah makam sederhana dengan nisan dari kayu, tangannya menggenggam payung hitam yang diterpa hujan deras siang itu di pinggiran Jakarta Barat. Matanya terpaku kepada ukiran biodata minimalis di hadapannya;

Sumarni binti Kasimo

Lahir: Wonosalam, 01–10–81

Wafat: Jakarta, 13–08–08

Ia menghela napas dalam-dalam. Tangannya merogoh secarik kertas yang telah berada di dompetnya selama setahun terakhir, namun tak pernah berani ia buka hingga sekarang.

Anya,

Kalau kamu menemukan surat ini dan sudah lama kamu tidak melihatku, maka aku sudah tiada. Tahulah aku sangat berterima kasih dengan segala yang telah kamu lakukan untukku. Namun aku tidak kuat lagi dengan hidup ini. Silakan kamu lakukan apa saja yang kamu inginkan dengan ceritaku. Aku sudah tidak kuat lagi hidup seperti ini. Hantu-hantu hidupku mengejarku. Laki-laki yang pernah menggunakanku, si bangsat Paimin, orang tuaku, dan Yangti. Tidak kuat aku, Nya. Maaf aku lemah. Maaf aku tidak sekuat yang kau harapkan. Semoga kamu mengerti, Anya.

Salam sayang yang terakhir kalinya dariku,

Sumarni.

Tanpa sadar sebulir air mata Anya jatuh ke permukaan kertas yang mulai menguning itu, memudarkan tinta hitam pena yang digunakan Sumarni untuk menulis surat kecil itu untuknya.

“Selamat jalan, Marni.” Anya mengecup ujung-ujung jarinya dan menempelkannya ke nisan kayu yang mulai dimakan rayap itu. Dengan helaan napas panjang, ia melangkah menjauhi kuburan massal di mana Sumarni dan banyak lainnya dimakamkan, terlupakan manusia, dimakan waktu.

Agustus 2007

Dua wanita duduk berhadapan di kafe di daerah Radio Dalam. Salah satunya berdandan necis lengkap dengan kemeja putih jernih, celana bahan biru dongker yang baru diseterika, rambut ombré coklat-pirangnya mengkilap dihantam lampu dari atas kepalanya, tak lupa lipstik merah menyala dan maskara lentik di wajahnya. Itu Anya Clarissa, jurnalis salah satu stasiun tv swasta di Indonesia. Di seberangnya terlihat wanita muda, wajahnya terlihat lelah meskipun tersenyum, rambut hitamnya dipotong pendek sebahu, dengan setelan gaun floral selutut sederhana dan sepatu datar seadanya. Itu Sumarni; seorang wanita dari Jombang yang tengah menjadi buah pembicaraan akibat buku Anya yang akan diterbitkan tentang kisah hidupnya yang pilu.

Si jurnalis menyodorkan draft tebal ke arah Sumarni. “Baca deh. Aku masih ngerasa ada yang kurang, tapi kalau kata kamu cukup, ya udah aku kirim.”

“Tebel banget…,” gumam Sumarni yang dijawab gelak tawa Anya.

“Heh. Aku biasanya nulis lebih banyak dari itu, jadi nyantai.” Anya tersenyum sambil menyeruput kopi panasnya.

“Emangnya ceritaku segini banyak ya Nya?” tanya Sumarni, masih terperangah dengan tebalnya tumpukan kertas di depannya. “Aku nggak tahu bisa baca sebanyak ini atau nggak….”

Bagi mata orang yang terlatih, terlihat raut wajah Anya tergambarkan sedikit kesedihan mendengar ujaran Sumarni itu. “Bisa lah. Aku ajarin lagi kalau masih susah.”

“Ih! Nggak, nggak!” Sumarni menggelengkan kepalanya. “Aku bisa! Kamu udah ngasih banyak banget ke aku… masa aku ganggu lagi….”

“Nyantai, Mar.” Anya menepuk pundak Sumarni lembut. “Gini deh. Kalau kamu berhasil baca semuanya, aku traktir anggur merah terbaik yang bisa aku temuin di Jakarta.”

Sumarni gelagapan. “T-tapi… Anggur kan mahal….”

“Terus? Kan hadiah buat kamu yang berhasil baca sebanyak itu. Sekali-sekali.” Anya hanya mengadahkan pundaknya seperti itu hal biasa yang ia lakukan kepada orang lain. “Ayolah. Buat aku senang.”

Sumarni menundukkan kepalanya sembari mengelus cover draft di hadapannya itu. “Oke…”

Anya bertepuk tangan dengan senyuman lebar di wajahnya yang kinclong itu. “Yay! Kabarin aku ya kalau udah! Kamu nggak nge-delete nomor aku lagi kan?”

Pipi Sumarni memerah seketika. “A-ah… kayaknya nggak…,” gumam wanita bertubuh kecil itu sambil merogoh ponselnya dari tasnya di atas meja. Ia berikan ponsel itu kepada Anya.

“Iya, masih ada. Telepon aja kalau udah ya say. Kalau bingung juga telepon. Stres baca, pengen jalan? Telepon aja.” Anya tertawa lepas. “Jangan ilang-ilangan lagi Mar. Nanti aku kangen.”

“Ih!” gerutu Sumarni yang dibalas gelak tawa oleh Anya. Kedua teman itu menghabiskan satu jam lagi di kafe tersebut sebelum berpisah haluan, satu menuju kariernya di pusat ibu kota dan satunya kembali ke rusun di perbatasan Jakarta-Tangerang, siap membaca kehidupannya lagi.

Namanya Sumarni. Dia lahir di Desa Wonosalam, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, di tahun 1981. Ayahnya telah tiada bahkan sebelum ibundanya tahu ia akan terlahir. Sakit, batuk-batuk, lalu pulang ke pangkuan-Nya dalam waktu satu minggu, katanya. Si kecil Sumarni bahkan tak pernah tahu bagaimana wajah pria yang setengah DNA-nya ada di dalam dirinya; keluarganya terlalu miskin untuk bahkan memiliki foto hitam putih petani sewaan bernama Kasimo itu. Sedangkan ibunya… ibunya hidup, untuk sesaat. Satu kali ia rasakan susu ibunya, lalu beliau juga dipanggil Tuhan. Bayi mungil tanpa dosa sepertinya, ditelantarkan Tuhan tanpa orang tua bahkan sebelum mengenal dunia. Pedih.

Yangtinya, Sumarni pula namanya, mau tak mau menanggung beban membesarkannya. Kerjaannya hanya menjahit kain jarik gendong untuk bayi. Itu pula tak seberapa; paling mahal juga hanya dapat Rp5.000,00. Kecuali kepala desa dan antek-anteknya, tiada yang punya uang sebesar itu.

Pakdhe dan budhenya entah kemana pada masa itu. Sudah minggat, sudah pindah ke luar kota sekalinya mereka dapat kesempatan. Menjadi pedagang asongan, supir taksi, TKW ke Malaysia atau pun pengamen di Surabaya dan Malang. Hanya satu kerabatnya yang masih tinggal; Paklik Darmo, petani sewaan melanjutkan pekerjaan ayahnya yang terbengkalai setelah dia meninggal.

Sumarni kecil tumbuh menjadi kembang desa. Kulit sawo matangnya manis, matanya belo berwarna coklat gelap, rambutnya hitam legam selutut dan senyumannya seindah mentari. Umurnya belum 10 tahun dan sudah banyak orang tua yang meminangnya dengan anak laki-lakinya. Tidak kurang pula, Sumarni kecil juga siswi terpintar di sekolah dasarnya.

Sayangnya ia harus berhenti di tingkat sekolah dasar. SMP terdekat ada di kota administrasi Jombang yang memakan perjalanan paling cepat selama 5 jam dengan jalan kaki. Tidak, lebih baik Sumarni membantu yangtinya menjahit dan memasarkan kain jariknya.

Semakin tumbuh besar, Sumarni semakin merekah. Parasnya cantik, tubuhnya melok, namun kecil. Benar-benar primadona untuk desa terpencil seperti kampungnya. Tak salah bila Pakdhe Karto, seorang supir taksi di Jakarta, menawarkannya hidup di ibukota bila temannya boleh menikahinya.

Sumarni muda dengan masa depan cemerlang di cakrawala pun setuju. Tidak bisa ia tumbuh di desa sekecil ini, pikirnya. Ia harus pergi, keluar, meninggalkan segalanya. Paimin, supir taksi dua kali umurnya, teman Pakdhe Karto, datang jauh-jauh dari Jakarta untuk menjemputnya dan membopongnya ke Jakarta dengan kereta ekonomi dari Jombang.

Di ibukota, dibawalah ia ke masjid setempat untuk dinikahi. Sudahlah, ia menjadi istri supir taksi di Jakarta. Untuk keluarganya, itu sudah sukses. Sudah mandiri, sudah bisa dilepas. Dilepaslah ia.

Hanya berbekal ijazah SD kampung, paras cantik, keterampilan rumah tangga dan suami miskin, hidup Sumarni di Jakarta pun dimulai. Awalnya ia bahagia; mungkin si Paimin ini merokok hingga rumah bedeng mereka berasap bak kebakaran, namun ia dinafkahi dengan sejumlah uang yang tak pernah bisa ia bayangkan jumlahnya saat masih tinggal di desa.

Sayangnya kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Lambat laun gaji Paimin tergerus dengan kebiasaannya judi saat sedang ronda malam. Dia lebih sering kalah dibanding menang, namun karena sudah tercantol, uang mereka pun semakin menipis tiap minggunya.

Lima bulan setelah mereka menikah, Paimin mengajak Sumarni pergi ke Grogol. Dia kira akhirnya mereka akan menikmati gemerlap hidup di Jakarta. Sumarni lugu salah; tanpa ia sadari ia telah terbaring tanpa busana dengan 4 laki-laki paruh baya di sekitarnya.

Bukanlah masa depan indah bergelimang harta yang Sumarni dapat, namun hidup pelacuran di mana tiap malam ia digilir paling minimal lima pria tua beristri. Satunya berani bayar paling kurang Rp50.000,00. Kalau Sumarni tidak bisa melayani paling tidak lima orang, deritanya ditambah; dicambuk pakai sabuk, ditampar sampai pipinya mati rasa, kadang malah rokok yang masih menyala disundutkan ke berbagai bagian tubuhnya oleh suaminya sendiri. Mau tak mau ia usahakan mendapat lima klien tiap malam. Lupakan salat lima waktu, salat tahajud, dzikir sebelum tidur ataupun baca Quran saat punya waktu kosong. Kalau ia tidak melayani ia terlalu lelah untuk melakukan apapun selain tidur. Di malam hari, ia kenakan baju yang menggoda nafsu para ikhwan berdompet tebal dan ia berikan malam terindah untuk mereka. Biasanya kalau totalitas, bisa dapat tips hingga tiga kali lipat tarif standar.

Sumarni kecil pun terpaksa tumbuh kuat sendiri di kerasnya kehidupan ibukota. Akibat pelayanan tiap malamnya, kondisi finansial mereka membaik. Rumah bedeng mereka pun menjadi bedeng termewah di kawasannya; yang tadinya hanya ditunjang dengan rotan dan kardus bekas maka setelah itu rumah mereka memiliki struktur semi permanen dengan kayu dan semen. Mereka punya radio dan lemari es. Bahkan rumah mereka jadi yang pertama memiliki jamban pribadi, tak harus ikut dengan orang lain di pinggir sungai.

Intinya, setelah Sumarni menghasilkan uang bagi ia dan suaminya, kehidupan mereka jauh, jauh membaik. Sumarni juga menjadi primadona kecamatan sejak itu. Bila ia memperkenalkan namanya, orang-orang langsung menjawab, “Oh, ini ya Sumarni! Ayune rek[1] Pantes kowe[2] mahal.”

Sesungguhnya Sumarni tak ingin hidup seperti ini. Saat ia dibopong ke ibukota, harapannya secerah mentari pagi di kampung; setidaknya bila ia tidak bisa sekolah lagi, mungkin ia bisa berjualan, bisa memiliki keluarga bahagia, hidup berkecukupan tanpa mengais tanah untuk makan. Namun yang ada malah harga dirinya ditimpa laki-laki paruh baya kesepian setiap malamnya, menggunakannya seperti mainan. Kini dia berharga minimal 50 ribu satu jamnya, pelanggan dengan perut terbuncit dan jas paling rapi yang diutamakan.

Setelah hampir satu tahun ia menjadi pelayan malam, pada siang bolong tanpa kabar pintu rumahnya digedor orang tak dikenal. Sumarni dengan daster kuning yang ia bawa dari Wonosalam, masih berjalan dengan pincang karena malam sebelumnya, mendadak diberitahu kalau suaminya mati ditembak tentara saat mendemo rezim Orba. Banyak hal berputar di bayangan Sumarni; di satu sisi ia bahagia karena germonya kini tiada, tetapi di satu sisi ia sedih karena… bagaimanapun juga, Paimin suaminya.

Malam itu menjadi malam terakhir Sumarni melacur. Fokusnya terbang ke terakhir kalinya ia bertemu almarhum suaminya; di pagi hari sebelum dia berangkat demo di depan DPR, dalam posisi yang sangat Sumarni kenal setelah setahun menjadi pelayan malam bagi pria-pria hidung belang. Setelah itu dia pergi tanpa lupa menyundutkan rokoknya yang masih sisa setengah ke telapak tangan kiri Sumarni. Tidak terpikirkan oleh Sumarni kalau itu akan menjadi kali terakhir ia akan bertemu Paimin. Alhasil karena ia tak memberikan pelayanan terbaik, pelanggan-pelanggan setianya satu per satu membatalkan pesanannya.

Esok harinya, Sumarni merapikan kepemilikan pribadinya. Bahkan dengan uang yang telah ia hasilkan selama setahun, barang-barangnya hanya dapat memenuhi satu tas berukuran sedang yang ia bawa dari rumah. Lalu pergilah ia ke Stasiun Gambir untuk pulang kampung. Ia rindu hidup tenang meskipun monoton di desa petani di mana ia dilahirkan dan tumbuh besar.

Sesampainya di rumah Yangti, ternyata sudah ada nisan atas nama beliau di halaman depan rumah. Sontak perasaan Sumarni campur aduk. Ia lari ke dalam rumah untuk mencari siapa pun yang ada di dalam; ia menemukan Pakdhe Karto dan Paklik Darmo merokok seperti biasanya di ruang tamu, lesehan bak tiada apa-apa yang terjadi.

“Kapan Yangti tilar[3]?” teriaknya kepada kedua kerabatnya itu.

“Habis kowe kawin,” jawab Pakdhe Karto tenang. “Kenapa kowe ndak dateng ke makamnya tho’?”

“Aku rak ngeh[4] kalau Yangti wis rak ono[5].” Sumarni membalas sembari menahan air matanya.

“Kita udah ngirim surat. Apa diambil karo[6] Paimin?” Pakdhe Karto bertanya lagi, lalu menghisap dalam-dalam rokok kreteknya.

Mbok bilih mekaten…,”[7] gumam Sumarni yang kini terduduk lemas menahan tangis.

Ojo nesu[8] gitu nduk.[9] Sini,” Paklik Darmo menepuk tempat kosong di sebelahnya, mengajak Sumarni untuk duduk di sebelahnya. Si gadis yang sedang terisak itu menuruti ajakan pakliknya.

Nduk,” panggil Pakdhe Karto yang sedang mengeluarkan rokok keduanya.

Nggih[10] Pakdhe?” balas Sumarni sembari menghapus air matanya.

“Aku denger-denger dari suamimu iku,[11] kamu biasa ya?” tanya pakdhenya.

“Biasa opo tho’ Pakdhe?” Sumarni bingung. Apakah Paimin memberi tahu keluarganya kalau dia…

“Nggak perlu bohong kamu nduk. Mahal kan kamu?” Tiba-tiba, Pakdhe Karto sudah berada di atasnya, kedua tangannya ditahan ke lantai.

“Pakdhe!” teriak Sumarni yang dibalas dengan tangan Pakdhe Karto di mulutnya.

“Diam! Kamu ini berani ngelawan orang tua ya mentang-mentang kaya di Jakarta?”

Semua ini seperti mimpi buruk bagi Sumarni. Tidak hanya ia kehilangan suami dan yangtinya, kini ia kembali di posisi yang ia benci; di bawah dua pria paruh baya, tanpa kekuatan untuk melawan. Lebih buruk lagi karena keduanya adalah saudaranya sendiri; orang-orang yang dulu ia kira bisa ia percaya. Ternyata tidak.

Dengan isak tangis, ia mengalah dan membiarkan pakdhe dan pakliknya menggunakan dirinya. Tiada pujian yang cukup untuk menyembuhkan pedihnya rasa diperkosa kedua figur ayah yang ia miliki. Sumarni berharap saat ia berencana untuk pulang kampung, ia bisa berada di pelukan yangtinya dengan segelas teh hangat dan kue nastar buatan beliau, bisa menangis sebebas-bebasnya dan mengakui dosa-dosanya selama ia tinggal di ibukota. Bukan ini.

Pakdhe dan pakliknya bergiliran menggunakannya selama dua minggu Sumarni ada di Wonosalam. Saking tidak kuatnya, malam Senin Sumarni menyelinap keluar rumah dan berjalan kaki dari Wonosalam ke Jombang. Ia sampai di stasiun beberapa waktu setelah matahari menampakkan parasnya di ufuk timur.

Sumarni sampai di Gambir pada dini hari Selasa, 26 Mei 1998. Keluar-keluar peron, yang ada di hadapannya adalah ibukota dalam kehancuran pasca keriuhan. Berjalan kaki kembali ke bedeng yang ia sebut rumah terasa mencekam; toko-toko dijarah, perempuan-perempuan berdarah Tionghoa diperkosa di pinggir jalan, mobil-mobil dibakar di tengah jalan dan gambar Presiden Soeharto dibakar di setiap tempat ia lihat.

Sesampainya di bantaran sungai tempat ia tinggal… Tetangga-tetangganya dengan sekejap mendorongnya ke dalam rumah Pak RT. Ibukota kacau, katanya. Presiden mengundurkan diri. Beberapa wanita bunuh diri setelah diperkosa oleh para pengacau.

Sejak itu Sumarni dan tetangga-tetangganya yang berhasil melewati kekacauan Jakarta menginap di rumah Pak RT hingga akhir bulan. Setelah itu semuanya kembali ke rumah masing-masing. Sayangnya, tidak untuk waktu yang lama. Sumarni yang hidup dari sisa penghasilannya di masa lampau selama dua bulan di Jakarta mendapati dunianya hancur lebur bersama dengan tetangga-tetangganya mendadak menjadi tunawisma; rumah-rumah bedeng pinggir sungai satu per satu diratakan dengan tanah, tak terkecuali rumah Sumarni.

Berbekal tas kecil dengan kepemilikannya yang tak seberapa, Sumarni luntang lantung, tiap hari berjalan kaki untuk mencari naungan baru. Bila ia beruntung ia bisa tidur di bawah pohon atau di kursi pinggir jalan, namun bila tidak, mau tak mau ia tidur di bahu jalan, dengan ketakutan dia akan digilas mobil yang lewat.

Setelah beberapa hari berjalan kaki dengan sandal tipis yang mulai tergerus aspal, Sumarni menemukan tempat berteduh di bawah flyover highway dengan beberapa orang lainnya yang menjadi korban penggusuran.

September 2005

Anya pertama kali bertemu Sumarni di sebuah klub malam di Jakarta Selatan di tahun 2005. Ia sedang memainkan sebotol birnya di bar saat matanya tertarik dengan seorang wanita mungil yang wara-wiri membawakan minuman dan makanan ke booth VIP di ujung ruangan.

“Jok,” panggil Anya ke bartender langganannya, si Ajok. “Gue kayaknya nggak pernah liat cewek itu.”

Ajok yang sedang melap gelas ikut melihat ke arah perempuan kecil itu. “Oh, si Marni? He eh. Emang baru. Kenapa?”

Anya mengadahkan bahunya. “Ya muka baru aja kali. Dari mana doi?”

“Gak tahu gue. Jawa kali ya? Medhok-nya dapet dia. Mau gue panggilin?” Ajok menawarkan sembari menyodorkan sebotol bir lagi untuk Anya.

Sok. [12] Anya membanting botol bir pertamanya ke meja bar, menghabiskan hingga tetesan terakhir.

“Marni! Sini!” Ajok berteriak ke arah Marni yang masih melayani para tamu VIP. Si wanita mungil itu sontak memutar badan dan berjalan ke arah Ajok, lalu masuk ke belakang bar.

“Duh, makasih banget Mas. Itu bapak-bapak megang-megang mulu,” gerutu Marni sembari begidik.

“Mar, nih ada langganan yang nyariin lo. Nya, ini Marni. Marni, ini Anya. Monggo.” Ajok meninggalkan kedua perempuan itu tanpa lupa menggayakan seperti ia mengadahkan topi (dia tidak menggunakan topi; terlalu bangga dengan kepala plontosnya).

“Hai.” Anya menyodorkan tangannya untuk berjabat. “Anya Clarissa.”

Marni hanya bisa gelagapan dan kerap mengganti-ganti tatapannya dari wajah ke tangan Anya. “S-Sumarni. A-Anya yang dari tv?”

The one and only, baby.” Anya menjawab dengan mengedipkan sebelah mata, lalu tertawa terbahak saat melihat pipi Sumarni memerah.

“Ada apa, A-Anya?” tanya Sumarni. “A-aku seharusnya melayani mereka…,” gumamnya sembari menatap ke arah segerombolan lelaki di booth VIP yang baru saja ia tinggalkan.

“Kamu mau ngurusin bapak-bapak nggak jelas kayak mereka?” tanya Anya yang dengan tenangnya menghabiskan botol birnya yang kedua. “Satu lagi dong, tolong.”

Sumarni segera mengambilkan Anya botol bir yang baru. “Nggak sih. Jijik aku. Pegang-pegang mulu. Mentang-mentang… ah… lupakan.”

Anya, dengan telinganya yang jeli meskipun terbalut musik klub yang kencang, menyadari perubahan nada bicara Sumarni. “Mentang-mentang?”

“A-ah… Umm… Nggak… Lupain….” Sumarni mendadak gelagapan, kepalanya tertunduk.

“Hmm?” Namanya juga jurnalis, Anya mendorong tubuhnya mendekat ke arah Sumarni yang tertunduk malu. “Kamu tahu aku mendapat uang dengan mengorek rahasia terdalam orang-orang, ‘kan?” godanya.

Sumarni menggaruk tengkuknya sendiri. “Err… um… Tapi aku nggak kenal kamu…”

Mendengar ucapan Sumarni, Anya tersenyum lebar dan membanting botol birnya yang sudah kosong ke meja bar. “Challenge accepted. Sampai bertemu minggu depan, Marni.”

Dengan itu, Anya meninggalkan bar dan selembar uang 100 ribu, beranjak melenggokkan tungkai panjangnya ke lantai dansa, menghampiri laki-laki berkulit putih yang sudah menatapnya dari awal.

Who was that?” tanya si laki-laki.

New conquest.” Anya menjawab sambil melingkarkan tangannya di leher si laki-laki. “Don’t worry, James. I’m still marrying you,” godanya dengan tawa kecil.

Damn right you are,” geram James yang segera mencumbu tunangannya itu.

Januari 2006

Sejak malam itu, Anya selalu datang ke klub setiap malam minggu. Kadang bersama James, kadang sendiri. Namun tujuannya datang sama: menghabiskan tiga botol bir dan menguak informasi dari Sumarni.

Sumarni juga lama-lama mengalah dan perlahan-lahan menceritakan hidupnya ke Anya. Tidak di klub; terlalu rawan. Maka Anya pun mengajak Sumarni pulang ke apartemennya di Semanggi, yang ia tinggali bersama James. Sumarni bahkan menjadi tamu tetap hingga James, juru masak hotel bintang 5, menyiapkan makan malam untuk tiga orang setiap hari Sabtu.

“Mar,” panggil Anya yang sedang menikmati segelas anggur merah. Ketiga orang di apartemen itu terduduk di teras; James menghisap rokok filternya dalam-dalam, Anya menikmati gelas anggur kelimanya, dan Sumarni memainkan kartu nama James yang baru saja menawarkannya pekerjaan di hotelnya.

“Ya?” jawab Sumarni, kini lebih percaya diri, menatap Anya dengan tatapan kuat.

“Boleh aku publish ceritamu?” tanya Anya.

Publish?” Sumarni menaikkan sebelah alis.

“Cetak,” gumam James. Sumarni terdiam mendengar terjemahan James yang masih dengan tenangnya menghisap rokoknya. “Dia ingin ceritamu dibuat jadi buku,” lanjut James.

“Hah? Buat apa?” tanya Sumarni kebingungan.

“Nggak semua orang punya cerita kayak kamu,” balas Anya yang menenggak sisa anggur dari gelasnya, lalu menatap ke arah Sumarni dengan mata sayu termabuk alkohol, “aku pengen jadi yang pertama yang bisa nyetak cerita kayak gitu. Lagipula, keuntungannya mau gak mau harus aku bagi sama kamu, jadi kamu juga bakal dapet duit banyak.”

“Kok kamu berani bilang bakal banyak duit?”

Mendengar pertanyaan Sumarni, James tertawa terbahak-bahak hingga tersedak asap rokoknya sendiri. Setelah menelan asapnya dengan bir yang ada di sampingnya, James menatap Sumarni dalam-dalam. “Kamu kira Anya nggak pernah nulis selain ceritamu apa?”

Sumarni tertunduk. “A-aku nggak tahu….”

“James, don’t be too mean,” ujar Anya yang menjitak kepala James. “Tapi, ya. Aku udah nulis banyak. Lumayan sih, banyak yang terkenal. Sekali aku publish cerita kamu, semua orang bakal tahu kamu siapa.”

Sumarni masih menunduk saat ia menjawab lirih, “Bukankah itu artinya semua orang akan menganggapku pelacur kampung?”

Anya, yang tadinya duduk menghadap James untuk membantunya berhenti tersedak, kini memutar balikkan tubuhnya dan menatap Sumarni. “Marni, percaya aku gak?”

Sumarni tidak perlu berpikir dua kali untuk mengangguk. Anya tersenyum. “Aku gak akan buat cerita yang ngejelekin nama kamu. Janji.”

Kedua perempuan itu saling bertatapan; satunya perempuan yang lahir dan tumbuh besar di kota dengan segala keberuntungannya, satunya lagi perempuan dari kampung antah berantah yang telah melewati lika-liku hidup.

Guys, I’m still here.” James melambaikan tangannya di antara kedua wanita di sebelahnya itu. “Don’t drill holes to each other, I kinda like both of you.”

Sumarni terlepas dari lamunannya saat mendengar gerutuan James yang dicubit Anya. “Oke.”

Anya melepas pandangannya dari James untuk melihat Sumarni lagi. “Oke?”

“Oke.”

Januari 2008

Anya berada di tengah-tengah waktu istirahat makan siang saat ponselnya berdering.

Incoming Call — Sumarni

“Kenapa say?” sapa Anya tanpa basa-basi.

Nya! Aku udah beres bacanya!” balas Sumarni dengan nada bahagia.

Yay! Jadi gimana? Suka gak?” tanyanya.

Iyaaa! Bagus banget sih… aku gak ngira ceritaku bisa sebagus ini…,” gumam Sumarni dari sisi telepon satunya lagi.

Anya hanya mendecakkan lidahnya. “Dasar. Lampu ijo ya berarti? Tunggu cerita Marni di toko buku kesayanganmu!”

Nya, makasih loh.” Sumarni bergumam pelan.

“Santai. Aku yang makasih.” Anya menjawab pelan. “Mar, aku harus cabut. Ada breaking news. Aku telepon lagi nanti ya.”

Oke!” tutup Sumarni dengan nada riang. Anya tersenyum mendengarnya, tanpa menyadari kalau itu akan menjadi percakapannya yang terakhir dengan Sumarni.

Februari 2010

It’s real? She’s gone?” tanya James setelah Anya terduduk di kursi penumpang depan mobil mereka. Anya hanya bisa mengangguk pelan. Lelaki berambut coklat terang itu hanya menghembuskan napas panjang sambil membawa mobil mereka kembali ke jalanan.

Poor soul. She could’ve lived longer, better,” gumam James.

Did I do anything wrong?” tanya Anya di tengah isakan tangisnya. “I thought I’ve helped her… I thought… everything will get better….

Sampai di lampu merah, James menatap Anya dan menggenggam tangan istrinya itu. “You didn’t do anything wrong. You didn’t know how bad it rooted in her. Don’t blame yourself. I could see how grateful she was for your help, but maybe her nightmares were still worse than what we thought.

Anya menangis terisak sepanjang jalan pulang. Sesampainya di parkiran bawah tanah apartemen mereka, James melingkarkan tangannya di sekitar tubuh Anya.

Shush. She’s happier now,” ucap James sambil mengecup ubun-ubun Anya.

I hope so.”

[1] Jawa: Cantiknya…

[2] Jawa: Kamu (bahasa harian)

[3] Jawa: meninggal

[4] Jawa: tidak mengerti, tidak tahu

[5] Jawa: sudah tidak ada

[6] Jawa: oleh

[7] Jawa: Mungkin saja…

[8] Jawa: Jangan lemas

[9] Panggilan kepada anak perempuan dalam bahasa Jawa

[10] Jawa: Ya

[11] Jawa: itu

[12] Sunda: silakan

--

--