Terjatuh

sarasvati
2 min readJun 17, 2019
Dhyamis Kleber, pexels.com

Mereka bilang, sang dewi malam cantik; indah; bila tidak, mengapa mereka memanggilnya “sang dewi malam”?

Tapi, bukan untukku. Menatap langit violet kelam sembari berbaring di lautan rumput, si dewi malam menatapku dengan bentuk sempurnanya, tanpa ditemani pasukan semutnya di manapun.

Aku menggapai tanganku ke atas, berharap si dewi menjabatku dan membawaku ke atas. Hidup fanaku di dunia penuh kebejatan ini ingin sangat aku lepaskan.

Biarkan hartaku meninggalkanku, apa peduli? Biarkan pangkatku mengkhianatiku, bukan urusan. Mereka seharusnya tidak menjadi Tuhanku. Tidak!

Emasku seharusnya berada di hati nuraniku. Bukan apa yang bisa aku sentuh; bukan apa yang bisa orang lihat.

Termakan dusta, termakan janji-janji palsu kera-kera modern yang menelusuri bumi ini; itulah aku.

Terkadang aku ingin berteriak hingga sejagad raya dapat mendengarku. Betapa menyebalkan tarian pohon kelapa; betapa mengganggu nyanyian burung!

Ingin kuteriakkan berapa banyak jumlah uang panas yang kuterima. Tangkap saja aku, persetan dengan nama baik.

Ingin kuteriakkan betapa tidak butuhnya aku terhadap para kekasih-kekasih yang mendatangiku tiap malam. Dia kira aku butuh mereka? Tidak! Berapa banyaknya ekor kepala yang ada mengerubungiku, tidak membantu rasa kesepianku.

Lama-lama aku bisa gila dengan diriku sendiri. Tuhan, Tuhan! Aku meminta tolongmu kali ini! Aku lelah dipanggil sampah masyarakat. Aku lelah dianggap buangan berduit! Enak saja!

Tuhan… aku membutuhkanmu. Aku menginginkan tuntunanmu. Aku memerlukanmu. Aku mohon…

…aku mohon, atas nama para malaikat, utusan, dan dirimu Tuhan, bawalah aku ke jalanmu.

Tidakkah aku berhak untuk mendapat kesempatan kedua? Meski aku ringkih, keriput, dan lemah?

Dewi malam… tsk. Aku berteriak dalam hati, memanggil Tuhan, tapi aku tetap mengharap aku bisa menggapaimu. Tapi yang kudengar hanyalah kafir, kafir, dan kafir. Aku telah terjatuh terlalu dalam sehingga Dia pun tak bisa mengangkatku. Dasar bodoh!

Aku menurunkan tanganku — bukankah tiada guna juga aku mencoba mendapatkan apa yang sudah aku lewatkan?

Aku terduduk, menatap lautan rumput hijau yang sudah menjadi teman sepantaranku malam ini. Si raja siang sudah bangun di ufuk timur, ceracauan ayam jago pun mulai menepuk gendang telingaku, bersautan dengan sirine aparat yang semakin mendekat.

Saat itupun, aku sadar.

Biarkan semua terjadi.

Aku angkat tangan.

. (d. 16/10/13. unknown.)

--

--